Permasalahan Melafadzkan Niat Puasa Ramadhan sesungguhnya sudah jelas sebagaimana Imam An Nawawi rahimahullah –ulama
besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang
kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan
untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara
para ulama.”[Rowdhotuth Tholibin, 1/268 ] Semakin keliru lagi jika niat
ini dibaca bareng-bareng selepas shalat tarawih.
Seputar Niat Puasa
Al-Ustadz Hammad Abu Muawiah
Hukum Niat

Niat dalam ibadah, baik wudhu, shalat, puasa dan selainnya tidak perlu dilafazhkan. Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Mengucapkan niat (secara jahr) tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa: 22/218-219) Dan dalam (22/236-237) beliau
berkata, “Niat adalah maksud dan kehendak, sedangkan maksud dan
kehendak tempatnya adalah di hati, bukan di lidah, berdasarkan
kesepakatan orang-orang yang berakal. Walaupun dia berniat dengan
hatinya (tanpa memantapkannya dengan ucapan, pen.), Maka niatnya syah menurut Imam Empat dan menurut seluruh imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang belakangan.”
Maka sekedar bangunnya seseorang di akhir malam untuk makan sahur
-padahal dia tidak biasa bangun di akhir malam-, itu sudah menunjukkan
dia mempunyai maksud dan kehendak -dan itulah niat- untuk berpuasa.
Waktu Berniat
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar dan Hafshah -radhiallahu anhuma- bahwa keduanya berkata:
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
Hadits
ini disebutkan oleh sejumlah ulama mempunyai hukum marfu’, yakni
dihukumi kalau Nabi yang mengucapkannya. Karena isinya merupakan sesuatu
yang bukan berasal dari ijtihad dan pendapat pribadi.
Maka
dari hadits ini jelas bahwa waktu niat adalah sepanjang malam sampai
terbitnya fajar. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya berniat dari
malam hari dan tidak syahnya puasa orang yang berniat setelah terbitnya
fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah. dan
Al-Hanabilah. Dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu
Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.
Catatan:
Kecuali
kalau dia baru mendengar kabar hilal ramadhan di pagi hari, maka
ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya syah, karena tidak
mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari.
[Al-Mughni: 3/7, Al-Majmu’: 6/289-290, An-Nail: 4/196, dan Al-Muhalla no. 728]
Apakah Syah Berniat Di Awal Ramadhan Untuk Sebulan Penuh?
Pendapat
yang menyatakannya syahnya adalah pendapat Zufar, Malik, salah satu
riwayat dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Ishaq. Hal itu karena
puasa ramadhan adalah satu kesatuan, sama seperti rangkaian ibadah haji
yang cukup diniatkan sekali.
Sementara jumhur ulama berpendapat wajibnya berniat setiap malamnya berdalilkan hadits Hafshah dan Ibnu Umar di atas.
Mereka
mengatakan: Karena jumlah malam dalam ramadhan adalah 29 atau 30 hari
maka wajib untuk memalamkan niat pada tiap malam tersebut.
Akibat perbedaan pendapat ini nampak pada satu masalah yaitu:
Jika
seorang yang wajib berpuasa pingsan atau tidur sebelum terbenamnya
matahari dan baru sadar atau bangun setelah terbitnya fajar kedua. Maka
menurut pendapat mayoritas ulama, dia tidak boleh berpuasa dan puasanya
tidak syah walaupun dia berpuasa, sementara menurut pendapat yang
kedua dia boleh berpuasa dan puasanya syah karena telah berniat di awal
ramadhan.
Maka dari sini kami
berkesimpulan bahwa yang kuat adalah pendapat yang pertama, yakni yang
menyatakan bolehnya berniat di awal ramadhan untuk sebulan penuh,
wallahu a’lam.
[Al-Mughni: 3/9, Al-Majmu’: 6/302, Kitab Ash-Shiyam: 1/198-199, Asy-Syarhul Mumti’: 6/369, dan At-Taudhih: 3/151]
No comments:
Post a Comment